Pemerintah merencanakan soal pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dalam usaha untuk memberantas terorisme membuat pro dan kontra. Pemerintah sudah menyusun sebuah rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang tugas untuk TNI dalam mengatas aksi dari terorisme. Draf nya pun di gadang – gadang sudah di serahkan kepada DPR untuk beberapa waktu yang lalu, agar dapat di bahas secara bersama – sama. Sejumlah pihak pun berharap agar pembahasan dari draf ini dapat dilakukan secara terbuka dan transparan.
“Rancangannya sudah jadi, sudah ke DPR. Perdebatan cukup seru,” kata Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD seperti dilansir dari Tribunnews.com, pada 29 Juli lalu (di kutip dari kompas.com).
Mahfud berbicara, bahwa pihak nya sudah berkomunikasi dengan sejumlah pihak, termasuk dalam kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada saat menyusun rancangan tersebut. Selain itu, dia pun menyebutkan, bahwa komunikasi yang dilakukan Kementrian hukum dan HAM, untuk menampun seluruh aspirasi dari berbagai pihak. Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah hal yang harus di perbaiki dan di selaraskan kembali.
Sementara itu, Ketua Komisi I DPR Meutya Mahfud menyatakan, belum menerima dan membaca raperpres tersebut. Dia memperkirakan bahwa susunan itu tengah berada di tangan pimpinan DPR. Meskipun begitu, Meutya memberikan tambahan bahwa secara umum TNI mempunyai wewenang untuk melaksanakan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang berada di dalam Undang – Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Salah satu wewenang yang berada di dalam OMSP yaitu pemberantasan terorisme.
Di desak secara terbuka
Lalu, sejumlah kalangan melakukan pendesakan agar pembahasan raprepres ini dilakukan secara terbuka. Koalisi dari masyarakat sipil untuk reformasi sektor keamanan, seperti mengatakan bahwa sejak wacana itu dikeluarkan Kemenko Polhukam, sejumlah elemen dari masyarakat sipil sudah melakukan penolakan. Penolakan ini terjadi karena rancangan dari aturan tersebut sudah di nilai akan berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.
“Dalam konteks itu, seharusnya pemerintah dan DPR sungguh-sungguh mengakomodasi masukan masyarakat,” kata Direktur Imparsial Al Araf dalam keterangan tertulis, pada 2 Agustus lalu (di kutip dari kompas.com).
Dia juga memberikan desakan, agar pembahasan raprepres ini diberlakukan secara terbuka dan transparan. Ini bertujuan agar masyarakat dapat ikut berpartisipasi secara aktif untuk mengawasi perkembangan pembahasan dan memberikan pendapat yang konstruktif di dalam penyusunan raprepres ini. Desakan yang sama juga di keluarkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Selain itu, keterbukaan itu di atur dalam peraturan Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan.
“Meminta agar pembahasan terhadap rancangan perpres dilakukan secara terbuka dan transparan sebagai bagian dari proses pembentukan hukum yang menghormati hak partisipasi publik,” ujar Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam dalam keterangan tertulis, Senin (10/8/2020) (di kutip dari kompas.com).
Pelibatan dari TNI ini harus patuh kepada norma hukum dan HAM yang berlaku. TNI yang terlibat di dalam pemberantasan teroris harus patuh kepada KUHAP, KUHP, dan UU HAM. Untuk alokasi anggaran pada TNI dalam mengatasi aksi terorisme hanya melalui APBN, karena mengingat fungsi dari TNI yang bersifat terpusat. Sehingga, anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sama dengan Pasal 66 UU TNI yang berlaku.